Wednesday, 25 June 2008

Sang Murobbi



Mengenang Sang Murobbi


Ribuan langkah kau tapaki

Pelosok negeri kau sambangi

Tanpa kenal lelah jemu

Sampaikan firman Tuhan-mu...

(Izzatul Islam—Sang Murabbi)

(tulisan anak murid Ustaz Rahmat Abdullah)


Sosok itu begitu melekat dalam pikiran saya. Saya mengenalnya hampir 19 tahun. Semenjak saya lahir, sampai kemudian, ia meninggalkan dunia yang nista ini.


Ustadz Rahmat, pernah menjadi guru di SMP saya, SMPIT Iqro’. Ia mengajar pelajaran tafsir qur’an. Dulu, pelajarannya bagi saya tidak terlalu menarik. Karena dulu waktu SMP, jamannya saya lebih suka mantengin mtv ketimbang belajar. Imbasnya, kelakuan saya nggak beda sama remaja kebanyakan. Hapalan qur’an selalu menjadi rutinitas yg negbosenin. Sholat juga jadi hambar. Jilbab, nggak kepingin lebar-lebar. Rasanya, sedada juga udah katro banget...


Astaghfirullah...

Begitulah saya dulu.


Ups, kenapa malah nginget2 seseuatu yg penginnya saya kubur dalam-dalam? (pengennya, ingatan saya yg SMP terhapus. Jadi ingatan saat SD langsung loncat ke SMU)

Tiap pelajaran Ustadz Rahmat, saya ngerasa bosan. Walaupun terkadang ia menceritakan hal2 yg menarik...dan sekarang saya menyesal. Kenapa dulu, di sebuah kesempatan selama dua jam itu, saya tidak berusaha menggali ilmunya yg luas. Padahal, ia punya murid lain yg menanti taushiyahnya, yg tidak akan menyia-nyiakan satu patah katapun yang keluar dari mulutnya, sementara kami—atau saya, lebih banyak nguap di kelasnya.


Pernah, suatu ketika, Ustadz Rahmat marah karena tidak ada satu muridpun di kelas yang sudah menghapal surat Ali Imran ayat 103. Hanya satu ayat saja kami diminta menghapal. Tapi tak ada satupun, kecuali anaknya yg sekelas dengan kami—Thariq. Sebelum ia meluapkan kemarahannya, ia membuka dompet kulitnya warna cokelat. Mengambil selembar uang sepuluh ribu.


“Saya tantang kalian. Saya akan berikan uang ini bagi siapa saja yg sudah hapal!”

Senyap.

Tawaran naik. 20 ribu rupiah.

Senyap pula.

Tambah naik. 50 ribu rupiah.

Masih senyap! Bayangkan, Ustadz Rahmat akan memberikan uang 50 ribu rupiah untuk siapapun yg sudah menghapal surah Ali Imran ayat 103! Tidak semua ayat! Hanya ayat 103! Tapi tak ada yg bergeming! Betapa keterlaluannya kami!


Dengan lemas, dan muka memerah, ia memasukkan uang itu kembali ke dompetnya. Saya lihat, saat itu, wajah Thariq juga memerah. Apakah ayahnya tak pernah terlihat sekecewa ini di rumahnya, sehingga anaknya sendiri takut? Ataukah Thariq marah pada kami karena kami telah membuat marah ayahnya?


Ustadz Rahmat menyandarkan bahunya ke kursi. Saya tahu, ia tengah beristighfar. Dan perasaan bersalah menyusup ke dalam hati saya.

Seberapa susah menghapal satu ayat saja? Kenapa saya lalai? Bukan uang 50 ribu yang saya sesali. Tapi saya menyesali diri saya yang bodoh dan malas. Penawaran Ustadz Rahmat hingga sebesar itu, seperti sebuah tamparan di wajah saya. Secara tidak langsung, Ustadz telah menegur saya—kami semua, betapa malasnya kami hingga perlu diberikan uang 50 ribu hanya untuk satu ayat! Di luar sana, muridnya yang lain tak perlu iming2 uang untuk menghapal qur’an! Murid-muridnya justru mengejar-ngejar dirinya untuk bertemu sebentar, menggali ilmu yg berharga darinya...

Tapi kami...dua jam bersamanya seminggu dua kali dengan kuapan rasa bosan...

Tapi kami, yang orangtua kami adalah sahabat Ustadz Rahmat, tidak menghargainya sama sekali!


Satu ayat dari mulut kami, akan dibeli oleh Ustadz! Bukankah itu tindakan yg kurangajar dari seorang murid?


Tak ada istilah murid kencing berdiri, guru kencing berlari untuk kami. Yang ada, kami kencing berlari, sementara guru kami, yg menjadi inspirasi bagi banyak orang itu, mengejar-ngejar kami agar tidak kencing sembarangan. Kami ibarat anak idiot berumur 14 tahun...


Beberapa menit setelah keheningan menyelimuti kami, Ustadz Rahmat berdiri. Ia mengambil spidol, dan akan menuliskan sesuatu. Beberapa di antara kami bernapas lega. Ustadz Rahmat akan memulai pelajaran. Spidol itu tidak mengeluarakan tinta. Sudah kering. Ustadz menggantinya dengan yg lain. Kering pula. Dan spidol terakhir, nasibnya tidak jauh berbeda.

Sekarang, saatnya menghakimi kelalaian kami dalam merawat barang-barang kebutuhan belajar-mengajar di kelas. Sudah menjadi peraturan bersama, bahwa kami harus rutn mengisi tinta spidol. Tapi lagi2, kami lalai. Padahal, gedung sekolah ini, yayasan sekolah ini, adalah milik guru kami ini, Ustadz Rahmat. Ia yang merintis lembaga ini dari awal. Ia yang mengepalai yayasan ini. Dan ia, merupakan satu-satunya guru yg tidak digaji di sini.

Ustadz Rahmat melempar spidol itu ke meja. Ia tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Ia begitu lembut, dan kali ini, karena kami, ia marah.


“Tak sadarkah kalian, bahwa kalian adalah penerus Ummi dan Abi kalian?” hanya itu yang keluar dari mulutnya. Sebelum ia keluar ruangan, meninggalkan kami dalam lautan rasa bersalah yg selalu datang belakangan...


Thariq, di tempat duduknya, hanya merunduk. Mukanya memerah padam.

***


Kematian itu datang dalam diam.

Ayah saya, saya memanggilnya Abi, belum pulang dari kantor. Saya tengah belajar soal-soal SPMB di ruang kerja. Kemudian, handphone Ummi berdering. Ada telpon dari Abi. Ummi menerima telpon itu. Detik berikutnya, Ummi mengucapkan, “innalillahi...” dan ia menangis deras saat itu juga. Perasaan saya nggak enak. Kalau Ummi langsung menangis, berarti telah terjadi apa-apa pada orang yg begitu dekat dengannya. Saya dan adik-adik bertukar pandang. Apakah saudara kami terkena musibah?


Ummi menutup handphone.

“Kenapa, Mi?” tanya kami semua hampir serempak.

Sesenggukan, dan setelah beberapa saat, Ummi menjawab, “Abi-nya Isda...”

Milla, adik saya yang nomor tiga, yang saat itu masih kelas 1 SMP, segera bereaksi. Isda adalah teman sekelasnya. Dan kami semua tahu, siapa Abi-nya Isda; Ustadz Rahmat Abdullah...


Kami semua terdiam. Ingatan saya, ketika kami SMP, ketika kami membuat jengkel Ustadz Rahmat, kembali lagi...saat ini, di mana saya sudah mengenal makna tarbiyah, di mana saya sudah mengazzamkan dalam diri saya bahwa dakwah adalah jalan kami, penyesalan itu datang lebih berkali-kali lipat. Seperti ada bongkahan batu seberat 1 ton yang berusaha memuatkan dirinya ke bilik-bilik jantung saya. Begitu sesak...


Saya ikut menangis. Menangisi kepergian Ustadz Rahmat yang telah memberikan nama pada saya dan keempat adik saya—ketika kami semua lahir—dengan nama yang indah dan penuh do’a. Saya menangisi kelalaian saya untuk menghabiskan waktu bersamanya, belajar lebih dalam tentang Islam. Saya menangisinya karena kepergiannya, begitu cepat. Kenapa justru di saat saya sadar siapa Ustadz Rahmat sebenarnya. Kenapa justru di saat saya tahu, bahwa ialah yang telah menananm benih-benih azzam di hati para pejuang dakwah hingga dakwah maju seperti saat ini? Kenapa justru saya baru mempelajari profile-nya, bahwa ia, bahkan, SMA saja tidak lulus tapi mampu membeberkan hukum kekekalan massa dan mengaitkannya dengan ayat Qur’an di kelas kami dulu?


Abi pulang tiga puluh menit kemudian setelah menelepon. Matanya memerah. Ia katakan, bahwa ia menangis sepanjang perjalanan. Lalu, kami semua menangis bersama di ruang tamu...

Jam 9 malam, Abi pergi ke rumah Ustadz Rahmat. Hingga besok siang, ia di sana, berkumpul bersama teman-temannya, sesama murid Ustadz Rahmat.


Saya memahami kedukaannya. Ia salah satu assabiqunal awwalun. Ia diasuh langsung oleh Ustadz karena dulu mereka bertetangga. Dari awal mengenal tarbiyah lewat halaqah, Abi tidak pernah berganti murabbi. Ia merasakan asam-manisnya perjuangan dakwah. Merasakan pula bagaimana dulu harus sembunyi-sembunyi ketika liqo’. Murabbinya, hanya satu itu, Ustadz Rahmat. Dan kehilangannya, adalah duka yang lebih dalam seperti saat kehilangan Ayahnya—kakek saya.


Setelah ditinggal pergi Ustadz Madani, yg dulu sering meledek saya, dunia tarbiyah ditinggalkan oleh syekhnya, Ustadz Rahmat...

Orang baik, selalu akan mati cepat...


Tapi, saya yakin, kematian mereka, bukanlah untuk kita ratapi terus-menerus. Hendaknya, rasa kehilangan itu menjadi cambuk buat kita untuk meneruskan perjuangannya. Untuk membuktikan pada dunia, bahwa dakwah must go on, walaupun satu persatu pejuang dakwah telah berpulang ke kampung akhirat...

Hingga kini, saya masih ingat kata-kata Ustadz Rahmat.


“Tak sadarkah kalian, bahwa kalian adalah penerus Ummi dan Abi kalian?”


Pertanyaan itu bergaung dalam relung hati. Pertanyaan itu yang kemudian membawa saya meninggalkan masa SMP yang memalukan. Dan menyadari, bahwa saya, adalah anak yang mendapatkan hidayah secara ‘instan’. Saya adalah anak yang telah tertarbiyah sejak keluar dari rahim Ummi. Pantaskah, saya menolak tongkat estafet yang telah disodorkan oleh orangtua yang hanif? Pantaskah saya menolak satu nikmat yang telah Allah berikan pada saya—berupa hidayah yg menyapa saya?


Rabbi...berikan guru kami tempat yang paling baik di sisiMu. Dan izinkanlah hamba, bertemu kembali dengannya, di syurgaMu—walau mulut ini, rasanya tak pantas memohon itu karena dosa hamba yang berlimpah...


Di ambil dari blog Abdul Hadi Rabudin

No comments:

Post a Comment